Ilustrasi Birokrasi | sumber: dok. pribadi |
Service culture bukan hanya sekedar pedoman bagi para customer service, melainkan sebuah budaya yang dijiwai oleh seluruh elemen perusahaan. Tidak hanya bagi divisi pemasaran dan pelayanan konsumen yang bersentuhan langsung dengan pelanggan, divisi-divisi lain pun melaksanakan tugas mereka dengan tujuan agar perusahaan dapat memberikan product experience yang baik bagi konsumen. Service culture membedakan sebuah perusahaan yang hanya menjual produk barang atau jasa, dengan perusahaan yang memberikan value mendalam pada setiap produk dan pelayanan yang diberikan.
Perusahaan yang menerapkan good service culture tidak akan super-profit-oriented, melainkan lebih customer-sentric. Kepuasan pelanggan tidak dicapai semata-mata dengan produk yang mereka beli, melainkan sejak konsumen melihatnya di media promosi, hingga produk sampai ke tangan konsumen, bahkan sampai pasca konsumsi apabila konsumen memiliki keluhan, kepuasan konsumen adalah yang utama. Service yang dilakukan dengan setulus hati sebenarnya bukanlah komoditas yang dibeli dengan uang konsumen. Berdasarkan prinsip jual-beli, uang yang dibayarkan adalah imbalan dari produk barang atau jasa yang dinikmati konsumen. Namun perusahaan-perusahaan besar meletakkan pelayanan premium sebagai prioritas mereka karena dengan service culture yang baik, perusahaan mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dibanding revenue report jangka pendek, yaitu loyalitas. Mengubah konsumen menjadi pelanggan yang ter-engaged dengan produk dan service mereka akan menentukan survival sebuah perusahaan dalam jangka panjang.
Birokrasi jangan kerja tanpa hati
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menemukan betapa perusahaan penyedia produk berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaiknya demi menarik minat konsumen. Namun pelayanan tidak hanya lekat dengan kegiatan komersil seperti jual beli barang dan jasa, melainkan juga birokrasi
Pemerintahan sebagai organisasi pelayan masyarakat pada hakikatnya mirip dengan perusahaan komersil. Mereka bekerja melayani konsumen yang membayar dalam bentuk pajak dan retribusi. Namun sayangnya pemerintahan itu seperti sebuah perusahaan monopolis (monopolistic company) yang tidak memiliki pesaing, sehingga tanpa perlu memberikan pelayanan terbaik pun, konsumen tetap memilih mereka. Ya jelas saja, sampai detik ini tak ada satu provinsi pun di Indonesia yang memiliki 2 pemda, ya kan?
Selain itu, tidak terjadinya direct contact dengan konsumen membuat hubungan antara birokrat dengan warga yang dilayani tidak sedekat company dan client. Perusahaan memiliki keterikatan kuat dengan klien karena pendapatan mereka bergantung pada penjualan. Jika mereka ingin penjualan tetap tinggi, mereka harus mempersembahkan yang terbaik kepada konsumen. Sedangkan birokrasi tidak mengalami kontak langsung dengan warga. Gaji mereka tidak bergantung pada seberapa banyak warga yang mengantri di loket yang mereka jaga. Masyarakat yang berperan sebagai konsumen penikmat jasa birokrasi membayar ke negara dalam bentuk pajak, baru kemudian dana pelayanan publik tersebut mengalir dari pusat ke unit-unit birokrasi dalam bentuk gaji birokrat.
Service culture untuk reformasi birokrasi
Reformasi birokrasi sebagai salah satu prioritas yang tercantum dalam program nawacita terasa menyegarkan bagi masyarakat tanah air yang selama ini dilanda 'alergi' birokrasi. Padahal peran birokrasi amatlah vital karena merupakan motor bagi kelancaran program-program pemerintah. Keluarga Berencana, KTP elektronik, BPJS, dan pelayanan-pelayanan administrasi sipil lainnya tidak akan berjalan lancar tanpa birokrasi yang baik.
Setelah empat tahun berjalannya pemerintahan Presiden Joko Widodo, sudah sewajarnya janji reformasi birokrasi dievaluasi. Dalam menilai keberhasilannya, indikator yang banyak digunakan yaitu kualitas pelayanan publik yang dinilai dari tingkat kepuasan masyarakat, integritas dan anti KKN, serta akuntabilitas kinerja. Di tahun pertama bergulirnya Kabinet Kerja, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB) menerbitkan hasil survei kepuasan masyarakat tahun 2015. Berdasarkan survey yang dilakukan terhadap sampel dari 21 kementerian/lembaga, diperoleh rentang skor antara 2,9-3,13 dari skala 1-4. Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) menggambarkan hasil reformasi birokrasi menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, seperti membaiknya kualitas pelayanan publik di daerah, pelaksanaan penerimaan CPNS yang semakin transparan, pelaksanaan promosi jabatan secara terbuka, serta trend penguatan akuntabilitas kerja yang meningkat (Kemenpan-RB 2015). Sedangkan berdasarkan penilaian akuntabilitas instansi pemerintah baik kementerian/lembaga, propinsi, dan kabupaten/kota mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dalam rentang 2014-2016. Setiap tahun, persentase instansi pemerintah yang mendapat nilai akuntabilitas ‘Baik’ semakin tinggi.
Reformasi birokrasi tidak dapat dicapai tanpa reformasi service culture. Oleh karena itu, banyak instansi pemerintah mulai dari tingkat daerah hingga pusat memasukkan Service Culture Building (SCB) dalam training pegawai. Pelayanan prima kini menjadi prioritas para abdi negara dengan menjamurnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di berbagai unit pelayanan masyarakat.
Metode yang dijalankan pemerintah dalam mereformasi service culture aparatur negara pun terbilang cukup inovatif. Tidak hanya melulu dengan pelatihan yang menguras anggaran, tetapi dengan program-program tepat sasaran dan regulasi yang dijalankan dengan komitmen tinggi pemerintah pusat dan daerah. Regulasi yang dimaksud yaitu kebijakan perubahan struktur gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menggunakan sistem merit. Dengan sistem ini, penggajian disesuaikan dengan kualifikasi, kompetensi, kinerja, dan prestasi pegawai. Harapannya, penerapan sistem merit akan meningkatkan kinerja pegawai negeri demi terwujudnya pelayanan publik yang lebih baik.
Tidak hanya performa birokrat, kepuasan masyarakat juga banyak dibantu oleh peran pemerintah dalam peningkatan infrastruktur bagi instansi-instansi pemerintah, penyederhanaan prosedur, dan penetapan SPP (Standar Pelayanan Publik) melalui Permenpan Nomor 14 tahun 2015 sebagai sarana pemerataan kualitas pelayanan birokrasi.
Infografik Reformasi Birokrasi | sumber: kominfo.go.id |
Digitalisasi birokrasi dengan sentuhan teknologi
Salah satu infrastruktur yang sangat besar pengaruhnya dalam reformasi birokrasi adalah media elektronik. Penerapan teknologi informasi dalam birokrasi begitu nyata dampaknya. Sistem antrian online di kelurahan/kecamatan, pengurusan dokumen kependudukan (eKTP, paspor, SIM, dsb) online, pelayanan kesehatan (BPJS) online, perizinan (IMB, SIUP, dsb) online, hingga pengaduan dan aspirasi online.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), pengadaan transaksi pengadaan melalui e-procurement berhasil meningkatkan efisiensi belanja negara sebesar Rp 24,6 triliun pada 2015. Maraknya e-government yang tidak hanya dilakukan pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah daerah pun menjadikan pemerintahan kini lebih transparan dan interaktif. Masyarakat tidak hanya menjadi objek, melainkan juga subjek pembangunan. Tingginya komitmen KemenpanRB juga diwujudkan dengan dirilisnya aplikasi-aplikasi e-government seperti command center, e-Office, e-Salam, e-Karpeg, e-Data, e-Performance, data center (DC) dan Disaster Recovery Center (DRC), dan Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (SIJAPTI).
Dengan sistem yang kian mudah dan cepat, serta pelayanan yang berkualitas, masih alergi birokrasi?
Referensi:
https://kemenkumham.go.id/berita/capaian-utama-reformasi-birokrasi
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171004115620-78-246012/kementerian-panrb-rilis-7-aplikasi-e-government
https://www.menpan.go.id/site/download/file/5024-laporan-evaluasi-kemajuan-pelaksanaan-reformasi-birokrasi-di-kemenpanrb
https://www.kominfo.go.id/content/detail/8228/reformasi-birokrasi-pelayanan-terbaik-untuk-republik/0/kerja_nyata