Tunggu Aku Kembali, Cinta Pandangan Pertamaku
Juni 22, 2017Deru suara hujan di luar membangunkanku di sepertiga malam. Kasar sekali tumpahan airnya menghujam atap. Tak seperti tetesan air yang membelai pelupuk mataku dengan lembut, jatuh dari langit-langit kamar kosanku yang bocor. Detak jam dinding pun menyuruhku untuk bangkit dua rakaat.
Dinginnya malam menjadi tamuku malam ini. Semangkuk mie instan hangat pun aku sajikan di meja, untuk kusantap bersama embun di jendela yang buram oleh gerimis semalam. Pemandangan di luar nampak seperti lingkaran-lingkaran bokeh berwarna kuning.
Kuah mie soto yang tersisa kuseruput langsung dari mangkuk, tak ingin tertinggal barang setetespun. Sendok dan garpu menyilang mengakhiri momen sahur malam ini dengan indah dan rasa syukur. Memang benar kata pepatah anak kosan: menyantap mie panas kala hujan adalah kenikmatan yang hqq (re: hakiki).
Masih ada 30 menit sebelum subuh, aku menjamah laptop tua kesayanganku. Kubuka layarnya, kubangunkan ia dengan satu sentuhan lembut jari telunjukku. "Si Item" (panggilan sayangku padanya) setia menemaniku 6 tahun sejak aku mendapatkannya saat SMA. Aku mencintainya seperti mencintai diri sendiri. Kami sudah lebih dari sekedar sahabat. Dia adalah cinta mati-ku.
Proses bootingnya yang cukup lama tak pernah aku caci. Tak tega pula aku memakinya walau kadang otaknya yang tidak secerdas teman-teman sebangsanya itu sering berhenti di tengah jalan. Ia memang lemah, tapi yang namanya cinta sejati tak pernah banyak menuntut. Keberadaannya di sampingku saja sudah merupakan anugerah yang sangat aku syukuri.
Setelah cukup lama menanti ia mempersiapkan diri, aku pun mulai menyentuhnya. Kubelai touchpad hitam mulusnya, ia pun mengerti arti setiap goresan telunjukku. Ia bawa diriku ke dunia yang penuh kenikmatan, dunia maya. Terpampang di hadapanku, indahnya lautan huruf berhias logo Blogger oranye di pojok kiri atas dan sederet ikon-ikon pengatur tulisan di bawahnya.
Jemariku pun menari-nari di atas papan tombol kusam itu dengan penuh gairah. Cita rasa mie instan yang masih tertinggal di lidah bagaikan doping. Juga kepala yang masih segar habis bangun tidur mempercepat kalimat-kalimat itu tersusun. Suara tak-tik-tak-tik membaur dengan bunyi percik sisa gerimis di pepohonan.
Memang, menulis sudah menjadi candu bagiku. Makanya aku merasa beruntung, ada Si Item di sisiku. Tanpanya, entah bagaimana aku melampiaskan nafsu menulis ini.
Dua-tiga paragraf sudah tercetak oleh tinta digital di layar yang baret-baret itu. Huruf demi huruf, kata demi kata berlarian dari kiri ke kanan, hingga mencapai garis finish di margin kanan, lalu kembali ke titik start di batas margin kiri. Sungguh kenikmatan yang tiada duanya bagiku. Walaupun ada kalanya ujung jemari merasa perih oleh panasnya suhu laptop, otot-otot tangan tak mau berhenti mengobok-obok keyboard berdebu ini.
Begitulah gambaran kisah seorang blogger, tetap berkarya dalam tulisan, meski penuh keterbatasan. Membiarkan diri terbenam dalam ruang imajinasi, lalu membangun sebuah dunia yang setiap detilnya dirangkai dengan kata-kata. Bercerita kisah fiktif maupun nyata, menulis populer maupun ilmiah, seorang blogger tak pernah habis tintanya.
Kecuali...
Mimpi buruk! Essay yang hanya tinggal dikirim ke email dosen itu terperangkap di laptopku yang baru saja mati kehabisan baterai. Sia-sia saja wifi cafe kencang ini kalau menyala saja ia tidak bisa. Baterai laptopku hanya bertahan 2 jam. Jam tanganku memperingatkan, waktu submit tinggal 5 menit! Tiap detik yang berlalu pun kian mencekik. Aku berlari mencari lubang untuk charger laptopku menancap. Hingga akhirnya kutemukan dua lubang itu, namun tak terasa sudah tujuh menit waktu berlalu.
Si Item membuatku kecewa!
Penyesalan gara-gara kelewat deadline terus terngiang-ngiang di kepalaku, menyeret kesadaranku ke alam lamunan. Hingga kudengar Si Item berkata padaku, "Bang, aku tahu engkau mulai tak betah bersamaku. Jangan kau bohongi aku dengan senyum palsumu. Aku merasa sentuhanmu sudah tak sehangat dulu. Adakah kau berniat berpaling dariku?"
Akupun tak kuasa menjawabnya. Memandang tubuhnya yang renta dengan guratan-guratan luka di sana sini membuatku iba. Teganya diriku menyakiti hatinya.
Sungguh aku tak pernah menyalahkan dirinya. Pasti dalam otaknya yang dual-core itu, ia ingin aku menerimanya, apa adanya. Namun seberapa besar upayaku menolak tiap kali muncul hasrat tuk pindah ke lain hati, otakku menertawakan bodohnya diriku yang begitu setia dengan Si Item-gendut-jelek itu.
"Bang, ingatkah engkau akan momen-momen yang kita lalui selama bertahun-tahun? Ketika engkau bekerja keras untuk tugas sekolah dan kuliah, aku menemanimu tanpa peduli malam telah larut. Ketika engkau muram dalam kesedihan, aku menghiburmu dengan musik dan film tanpa peduli seraknya suara dan berat vga-ku mengangkatnya. Ketika engkau butuh hiburan, aku layani hasratmu bermain game tanpa peduli panas tubuhku membara berjam-jam. Tapi itulah untuk apa aku disini. Untuk membantu produktivitasmu, mewujudkan ide-ide kreatifmu, dan mengusir kejenuhanmu. Namun apabila ragaku yang renta ini sudah tak lagi sanggup memenuhi kebutuhanmu, janganlah kau memaksakan diri bertahan denganku."
Sungguh waktu seperti berhenti ketika dengan wajah tertunduk ia menyampaikan keluh kesahnya. Cafe pun mulai sepi ditinggal para tamu, menyisakan kami berdua yang hatinya berkecamuk dibalik bibir yang bungkam, terdiam (masih) melamun. Aku menurunkan layar kusam itu, menutup wajahnya yang tak lagi sanggup kutatap. Kubelai emblem logo berkilau di punggungnya. Tanpa sadar setetes airmata jatuh di atasnya. Kuusap air itu hingga warna metaliknya berkilau. Teringat betapa mewahnya dulu ia nampak di mataku.
"Jangan buat waktu berhargamu terbuang oleh lamban kinerjaku. Aku sangat menyesal tiap kali kreativitasmu yang luar biasa itu tak terkonversi menjadi karya. Pergilah, Bang. Jangan biarkan dirimu terbenam dalam penyesalan. Carilah Si Item yang baru. Entah itu Si Putih, Si Merah, atau Si Biru, yang penting ia membantu produktivitasmu."
Dinginnya malam tak lelah berusaha mengusir kami yang sedari tadi acuh pada dunia. Bukannya acuh, aku hanya membiarkan diri ditelan kegalauan. Tentang sumpahku tuk selalu menjaganya, dan sumpahnya tuk menjaga kepercayaanku. Sumpah yang diludahi oleh waktu, era maju, dan teknologi baru.
Oke. Pagi ini aku akan menuruti keinginanmu. Mungkin memang sudah saatnya kau istirahat. Buku yang sudah penuh dengan tulisan sudah selayaknya disimpan, bukan dihapus dan ditulis ulang. Aku akan memberimu tempat spesial di kamarku, bersama tumpukan ensiklopedi berharga yang ilmu pengetahuan di dalamnya sudah ketinggalan zaman.
Di balik pintu kaca ini mungkin aku akan menemukan penggantimu. Baik, sekarang aku siap memasuki toko komputer terbaik di kota. Bismillah...
Dinginnya AC menyambutku, tapi tak sedikitpun aku hirau. Deretan laptop dan netbook berjajar di depan mataku, memasang senyum termanisnya, berebut minta aku hampiri.
Sesosok wanita cantik mendatangiku. Senyumnya ramah menyapa terlihat di ujung mata, tapi tatapanku tetap fokus ke rak-rak dengan laptop warna-warni berbaris di atasnya. Sampai akhirnya ia memaksaku memberi perhatian padanya.
"Selamat pagi, mau cari laptop apa Mas?" ujarnya lembut.
"Saya cari laptop yang mampu menunjang produktifitas dan kreativitas saya. Yang handal, yang tangguh dan juga kuat." jawabku dengan semangat.
"Oh ada, mari ikut saya Mas."
Aku mengucapkan selamat tinggal pada laptop di depanku dengan usapan jariku pada body-nya dan berlalu menuju mbak-mbak itu yang sudah menunggu di etalase beberapa meter dari tempatku berdiri.
Ia mengeluarkan sebuah laptop 14 inch mewah berwarna putih, lalu mulai bercerita tentang kehebatan laptop itu. "Spesifikasi dan desain yang sangat menakjubkan! " hanya itu pikirku dalam hati.
'Sabrina', tanpa sengaja aku melihat nama yang tertulis di nametagnya. Ia terus berbicara tanpa putus. Aku pun malah memilih menatap wajah manisnya dibanding memperhatikan jarinya yang menunjuk bagian-bagian laptop di hadapanku.
Hingga akhirnya ia menaikkan bola matanya hingga terjadi kontak mata antara kami berdua. Aku pun menjadi salah tingkah. "Oh iya.. Ng nganu mbak.. Bagus ya laptopnya."
Astagfirullah, habis sudah pahala puasa hari ini.
"Jadi Masnya mau ambil yang ini?" ia bertanya tetap ramah meski baru saja memergoki aku yg memandanginya.
Mataku yang tengah membuang pandangan kesana kemari karena malu, tiba-tiba seperti tersangkut ke satu titik yang entah kenapa sangat menarik perhatiannya.
Yang namanya jodoh kadang kita tak tahu kenapa bisa jatuh hati. Karena saat itu perasaanlah yang menguasai permainan. Mengalahkan otak yang sebenarnya sudah menentukan kriteria apa saja yang diinginkan.
Beberapa detik berlalu sejak aku menatapnya (laptop itu) tanpa suara. Seperti bisa membaca pikiran, si Mbak menghampiri lemari kaca di belakangnya. Kaca penutup digesernya dengan pelan, dijemputnya laptop cantik itu ke hadapanku.
Beberapa detik setelahnya aku masih belum berkata-kata. Keindahan tubuh merahnya memukau mataku yang tak berkedip sedari tadi. Tidak besar ukurannya, lebih kecil dari kertas A4! Amat sempurna untuk teman perjalanan. Langsung terbayang betapa indahnya ia seandainya ada di dalam tas cangklongku. Betapa pede-nya aku saat mengeluarkan Si Merah dari tas, lalu memangkunya di bangku taman, atau mendudukkannya di meja cafe. Oh aku jatuh cinta pada pandangan pertama!
ASUS E202 | Lebih produktif, lebih kreatif Design: Labib |
Warna merahnya begitu romantis. Aku membayangkan diriku kencan berdua dengannya. Bermesraan di warkop pinggir jalan, sambil minum segelas teh hangat dan ngemil gorengan. Aku akan bercerita banyak kepadanya. Tentang kisah2 khayal di mimpiku siang hari, atau keluh kesahku terhadap peristiwa-peristiwa di negeri ini.
"Boleh dinyalakan dulu aja Mas," adalah kalimat terindah yang keluar dari bibir merah muda Mbak Sabrina. Hatiku girang bukan main. Memandangnya saja aku sudah sangat bahagia, sejujurnya tak terbesit di benakku untuk menyentuh apalagi menyalakannya. Benar-benar momen yang sangat berharga dalam hidupku.
Kutekan tombol powernya dengan lembut. Sentuhan pertama jariku dengannya pasti akan terkenang seumur hidup!
Tak berselang lama, tampilan desktopnya muncul. Jauh lebih cepat dari yang kubayangkan, hanya beberapa detik saja waktu bootingnya! Itu terjadi berkat prosesor Intel® terbaru yang terbenam di motherboardnya, ditambah sistem operasi Windows 10 yang kekinian banget. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, dimana suara kipas yang biasa menghantui itu?
"Mbak kok nggak ada suara kipasnya ya?" tanyaku spontan.
"Iya mas, salah satu keistimewaan laptop ini adalah 'fanless'. Prosesornya yang hemat daya tidak memakan banyak energi sehingga tidak panas."
Luar biasa!
"Karena kemampuannya menghemat daya, ia pun mampu bertahan 8 jam" tambah Mbak Sabrina.
Lagi-lagi terbayang momen-momen dimana aku dan dia duduk di perpustakaan untuk bersama-sama merangkai kata untuk novel yang kuimpikan. Tenang dan kalemnya Si Merah pasti akan membuat kata-kata meluncur dengan mudah dari kepala menuju jari dan tercetak dengan indah di layarnya.
ASUS E202 dengan prosesor intel terbaru Design: Labib |
Layar monitor tipis dengan ASUS Splendid Technology itu menawarkan visualisasi yang menawan tanpa merusak mata. Aku mungkin akan betah berlama-lama dengannya, entah itu bekerja atau menonton video dan film.
"Laptop ini juga memiliki port USB 3.1 Type-C loh Mas, bisa dicolok dengan berbagai arah dengan colokan reversibel setiap saatnya. Kecepatan transfernya pun 11 kali lebih cepat dibanding USB 2.0 yang ada di laptop-laptop biasa."
Oh ini dia yang aku butuhkan. Aku teringat betapa lama waktu meng-copy file video dan film. Dengan ini pasti akan jauh lebih cepat.
"Cobain deh mas touchpadnya sangat sensitif dan akurat. Ukuran pun lebih besar dari laptop sekelasnya. Selain itu didukung oleh ASUS Smart Gesture yang rasanya seperti sedang mengoperasikan smartphone."
Aku menyentuh touchpadnya dan hanya satu hal yang terpikir olehku: sempurna. Mulusnya, lapangnya, dan gesturnya sangat mengerti kehendakku, membuatku seperti menjadi bagian dari laptop itu.
Dari touchpad kemudian aku merambah ke keyboardnya. Apa yang terasa di jemariku tak bisa dideskripsikan. Setiap tombol yang kutekan memberi kenikmatan. Hanya 1.66 mm tebalnya, sangat nyaman untuk mengetik naskah panjang.
Kepalaku mengikuti kemana jari Mbak Sabrina menunjuk. Kali ini ia menunggingkan Si Merah, memperlihatkan bagian bawahnya. Aku pun ikut menungging sambil memiringkan kepala.
"Speakernya dilengkapi ASUS SonicMaster Technology, jadi lebih powerful, jernih, dan kaya akan bass. Dua speaker itu didesain menghadap ke depan sehingga akan lebih terdengar nyata."
Ingin rasanya kubawa dia pulang, konek ke wifi kosan, lalu streaming Youtube di kamar dengan suara maksimal. Tak sabar aku ingin berpesta dengan Si Merah!
Teringat soal wifi, aku bertanya pada Mbak Sabrina. "Wifi-nya kenceng kan Mbak?"
"Jelas! ASUS E202 dilengkapi dengan Wifi 802.11ac yang hampir 3 kali lebih cepat dari 802.11n. Speednya mencapai 433 Mbps!" jawabnya.
"Dan terakhir, harddisknya sebesar 500GB akan menyimpan jutaan file-mu dengan aman, Mas." pungkasnya seraya tersenyum.
Aku membalas senyumnya dengan cerah, secerah suasana hatiku saat ini. Notebook tipis nan ringan ini mampu menyimpan sedemikian banyak data. Kalau diibaratkan dengan kertas, file sebanya 500GB itu kalau di-print mungkin akan menghasilkan tumpukan kertas setinggi menara Eiffel, bahkan lebih. Namun semua itu terwakili oleh notebook 11.6 inci dengan bobot hanya 1.21 kg ini.
"Ohiya hampir lupa, ada juga fitur ASUS WebStorage sebesar 16GB untuk mem-backup datamu secara online."
Wow! Fitur yang sangat bermanfaat untuk mengamankan data-data penting. Dengan ini aku juga dapat mengakses file dari gadget ASUS ZenFone C kesayanganku.
"Jadi gimana Mas? Tertarik? ASUS E202 juga tersedia dalam pilihan warna Silk White, Dark Blue, Lightning Blue, dan Red Rouge dengan pilihan versi Windows 10 dan DOS."
"Saya bukan tertarik lagi Mbak, sangat tertarik! Saya jatuh cinta pada pandangan pertama. ^_^" jawabku sambil menunjukkan senyum.
"Jatuh cinta sama saya Mas?" tanya Mbak Sabrina yang juga mengobral senyum tersipu.
"Ya sama ASUS E202 dong Mbak.. Hahaha.."
Mbak Sabrina hanya tersenyum kecut "Oh oke kalau gitu saya bungkusin ya Mas,"
"Wah maaf Mbak, sebenarnya saya kesini baru mau lihat-lihat aja. Tapi jangan khawatir, saya lagi nabung. Tolong jaga dia untuk saya ya, Mbak. Semoga nggak lama lagi saya datang kesini melamar Si Merah itu."
"Oalah.. Haha oke nggak papa Mas. Siap. Yang jualnya nggak sekalian dilamar juga Mas?" Mbak Sabrina mancing-mancing minta digombalin.
"Wah maaf Mbak.. Telah habis sudah cinta ini. Tak lagi bersisa untuk dunia. Karena t'lah ku habiskan sisa cintaku hanya untuk ASUS E202..." senandungku sambil menunjuk Si Merah yang terlihat anteng saja di atas etalase.
"Halah.. Masnya gak asik ah.."
"Oke Mbak, terimakasih sudah mempertemukan saya dengan jodoh saya. Selamat siang.."
Aku meninggalkan toko itu dengan senyum sumringah. Sepanjang jalan tak henti-hentinya aku menyebut namanya. "ASUS E202", ketika maharku telah siap, aku akan kembali untuk meminangmu. Atau mungkin Allah punya jalan lain yang lebih indah untuk membawamu ke pangkuanku. Semoga saja.
1 comments
Notebook Asus E202 emang keren deh. Desain minimalis, kualitas maximalis, apalagi harganya cukup ekonomis.
BalasHapus