Harmoni dalam Inklusi
Desember 08, 2014Inklusi
![]() |
sumber: ifrc.org |
Kaum difabel sebagai minoritas bukan berarti harus dipinggirkan dari masyarakat. Mereka yang memiliki kekurangan fisik maupun mental juga lahir dari masyarakat, hidup di tengah masyarakat, dan mengabdi untuk masyarakat. Hanya kadang beberapa dari kita terlalu angkuh dengan kesempurnaan yang kita miliki dan memarjinalkan mereka yang tidak sempurna, atau bahkan mengkastakan diri di atas mereka. Padahal belum tentu orang dengan kondisi fisik normal lebih baik daripada difabel. Buktinya: Kurnia Khoirul Chandra, difabel tuli berprestasi.
Difabel bukan untuk dikasihani
Jiwa pantang menyerah dan tabah harus tertanam di dalam diri seorang difabel, karena negeri ini belum adil menjamin hak mereka dalam banyak hal, antara lain fasilitas umum, akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Peluang difabel untuk memperoleh pekerjaan yang layak menjadi sempit karena adanya diskriminasi, namun bukan berarti tidak mungkin, contohnya kisah: Suratman, difabel daksa yang pantang menyerah.Sebenarnya para difabel berpotensi besar jika saja mereka mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh hak pendidikan dan lapangan pekerjaan. Mereka bisa menjadi otot-otot yang membantu pembangunan negeri. Namun yang kita lihat selama ini, mereka dipandang layaknya beban negara, dan orang sakit meminta belas kasih. Persepsi seperti inilah yang harus kita ubah. Sekarang sudah saatnya mewujudkan revolusi untuk inklusi!
Bersahabat dengan difabel
Kata siapa difabel dan orang normal tidak bisa hidup berdampingan? Aku mengakui, ada rintangan yang menghalangi difabel untuk berinteraksi dengan orang normal. Keterbatasan fisik misalnya penglihatan, pendengaran, lisan, pemikiran, pergerakan, dan sebagainya menghambat interaksi dan komunikasi yang terjadi. Namun yang demikian itu harus dapat kita atasi. Jangan sampai penghalang itu meluluhkan kekompakan kita sebagai saudara sebangsa setanah air. Sebagai contoh, berikut aku curahkan sedikit kisah aku bersama teman difabelku.Arif, Sahabat Kecilku
Pernah aku bertetangga dengan anak tunawicara yang sedikit lebih tua dariku, Arif namanya. Kesehariannya selain sekolah di sebuah SLB dilalui dengan mengurung diri di rumahnya. Rumahku yang berhadap-hadapan dengan rumahnya membuatku 'sesekali' melihat dirinya dari sela-sela pagar dan memberikan senyuman walau dibalas dengan raut wajah datar darinya. Bisa melihat batang hidungnya saja merupakan kesempatan yang langka, karena dia terlalu menutup diri dari lingkungan sekitar. Namun demikian aku tertantang untuk mengenalnya, mengetahui keunikan yang ada padanya.
Pelan-pelan aku mendekatinya melalui neneknya. Neneknya yang ramah dan baik hati mendukung langkahku. Nampaknya beliau prihatin dengan Arif yang tidak memiliki teman. Mengetahui bahwa ternyata ia gemar bermain Play Station, aku pun menemukan cara untuk bisa berkenalan dengannya. Neneknya memintaku bermain dengan Arif di rumahnya, dan dengan senang hati aku pun melaksanakannya. Perkenalan antara kami berdua membuatku dan Arif selangkah lebih dekat. Keseruan saat bermain Play Station bersama merekatkan kami menjadi teman dekat.
Karena aku tidak menguasai bahasa isyarat, kesulitan komunikasi verbal yang terjadi antara kami dijembatani oleh nenek Arif yang sering duduk menemani kami bermain. Canda, godaan, cubitan, dan gelitikan pun seringkali aku jadikan bahan tertawaan untuk menghibur Arif.
Satu hal yang sangat aku sayangkan, orangtua Arif kurang memberi perhatian kepadanya dan selalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Fadli, Si Aktif dan Periang
Temanku yang satu ini tinggal di dekat rumahku yang dulu, sebelum aku pindah ke rumah baru. Namun sampai saat ini, sepuluh bulan pasca kepindahanku, masih lekat di memoriku segalanya tentang dia. Mulai dari wajah sampai perangainya yang lugu lagi tabah. Ya, di balik keluguannya tersimpan hati yang tabah luar biasa.
Mungkin aku tidak sekuat dirinya tatkala menghadapi ejekan dari teman-teman sekolah yang tiap hari ia terima. Ia kerap di-bully oleh teman-temannya karena keistimewaan yang ia miliki.
Sebenarnya aku dan dia adalah satu angkatan, karena kami lahir pada tahun yang sama, masuk TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) bersama, dan sering bermain bersama ketika kecil. Namun seiring bertambahnya usia, kedewasaan Fadli tidak juga berkembang, tidak seperti diriku. Ia pun kini (2014) masih duduk di bangku SMK, sementara aku sudah lulus SMA dua tahun yang lalu.
Memang sejak kecil ia dikenal hiperaktif, bahkan hingga saat ini masih juga demikian. Teman-temannya sekarang adalah bocah-bocah kecil yang masih senang berlarian kesana kemari, menaiki sepeda keliling kampung sambil berteriak-teriak, dan memainkan permainan kanak-kanak. Pernah sekali aku memberanikan diri bertanya padanya, walau ada keraguan akan membuatnya tersinggung. "Fadli, kamu kok masih suka main sama anak-anak? Kenapa nggak main sama teman-teman sekolahmu?" tanyaku. Ia pun menjawab, "Enggak ah, teman-teman aku jahat!"
Ia seringkali datang ke rumahku, bukan untuk mencariku, melainkan adikku yang masih belajar di Sekolah Dasar. Bukannya aku enggan bermain dengannya, hanya saja aku tidak lagi sempat meladeninya memainkan permainan anak-anak. Apabila Fadli datang menghampiri adikku untuk mengajaknya bermain, aku pun hanya sekedar basa-basi, mengajaknya bicara sedikit lebih dewasa, menanyakan bagaimana kabarnya, sekolahnya, dan sebagainya. Kadang ketika aku bertemu dengan Fadli yang sedang berjalan pulang dari sekolah, tanpa ragu aku memberinya tumpangan sepeda motor.
Orangtua Fadli tampaknya menerima kondisi anak terakhirnya itu walaupun berbeda dari kakak-kakaknya. Ibunya menyekolahkan Fadli di SMK umum swasta dengan harapan ia dapat menuntut ilmu seperti remaja-remaja kebanyakan. Mungkin di luar sana banyak anak-anak difabel yang dirampas haknya memperoleh pendidikan. Fadli beruntung menemukan sekolah inklusif yang menerimanya, setelah ia ditolak di sekolah-sekolah lain.
Sudah sepuluh bulan aku tidak jumpa dengannya, tidak tahu kabar tentangnya, aku hanya bisa berdoa semoga ia selalu dilindungi Tuhan Yang Maha Esa. Oh iya, kalau tidak salah aku menyimpan foto Fadli...
Fadli dan adikku, Evan
Keceriaan Fadli saat bermain.
Harmoni dalam Inklusi
Difabel adalah orang-orang spesial. Merangkul mereka, membantunya memasuki pergaulan, dan membukakan pintu inklusi untuknya supaya dapat membaur dalam masyarakat adalah kewajiban kita semua. Jangan menganggap perbedaan yang ada merupakan tingkat kasta yang menempatkan mereka di posisi yang lebih rendah dari kita. Kita semua sama!Coba bayangkan betapa indahnya dunia yang inklusif yang menghargai semua perbedaan. Warna-warni latar belakang dan cara hidup manusia yang beragam sebagai aset berupa kekayaan pluralitas. Tidak boleh ada yang tersisihkan, semua saling merangkul menjadi satu.
5 comments
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerimkasih Artikelnya Sangat Membantu
BalasHapusIjin Share Gan :)
Kunjungi juga http://jellygamat-gold.net/cara-mengobati-tekanan-darah-tinggi-secara-alami/
Terimakasih Banyak Infonya Sangat Bermanfaat :>)
BalasHapusNice Info Sob
BalasHapusIni yang sedang saya cari-cari (y)
Infonya bagus bgt gan
BalasHapusJual stick game pc murah
Jasa download software
Jual mouse game bergaransi
jual game pc