Cerpen: Ayah dan Burung-Burung di Sawah
April 18, 2014
Dulu saya senang mengarang cerpen. Awalnya sih saya dapat tugas bahasa Indonesia untuk membuat cerpen. Tapi sayangnya karena kesibukan, sudah tidak sempat lagi menulis cerpen. Apalagi dalam membuat cerpen itu aku nggak bisa asal ketik. Saya harus jalan-jalan ke luar mencari inspirasi, dan tidak lupa berdoa sama Yang Kuasa. Repot yah? Hehe padahal cerpen ASLI karya saya ini nggak bagus-bagus amat tapi bikinnya sampai repot seperti itu.
Nah, daripada terpendam di folder-folder tua mendingan saya share aja disini. Soal pembaca suka atau enggak, urusan belakangan. Kalau kalian suka Alhamdulillah. Kalau enggak, ya maaf, namanya juga masih belajar.
Cerpen ini sebenarnya sudah dipublish di sebuah situs kumpulan cerpen. Bisa dicek di:
http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/ayah-dan-burung-burung-di-sawah.html
Kalau sudah nggak sabar mau tahu seperti apa ceritanya, langsung saja simak di bawah ini.
Ayah dan Burung-burung di Sawah
Karya: M. Labib Naufaldi
Seorang petani tinggal di rumah kecil di sebuah desa bersama seorang anak laki-lakinya bernama Jaka. Meski hidup serba kekurangan Jaka tidak pernah mengeluh. Ia selalu ceria membantu ayah merawat sawah dan senang bermain dengan teman-temannya. Jaka pun giat belajar dan rajin bekerja membantu ayahnya di sawah.
Kehidupan mereka bergantung pada hasil panen padi dari sawah setiap enam bulan. Dua petak sawah yang mereka miliki akan panen sebulan lagi. Mereka sangat senang dan tidak sabar menunggu datangnya waktu panen.
”Yah, kalau panen nanti, uang hasil penjualan panen untuk beli apa? Aku ingin beli tas baru ya,” pinta Jaka kepada ayahnya.
”Tasku sudah sobek dan berulang kali kujahit, tetapi sobek lagi, Yah!” sambung Jaka.
”Iya, nanti Ayah belikan tas yang awet dan bagus, tapi kamu harus lebih rajin belajar di sekolah!” ayah Jaka menjawab dengan ramah. Jaka hanya mengangguk sambil tersenyum.
Dua minggu sebelum waktu panen tiba, Jaka dan ayahnya semakin giat mengirigasi, memupuk, dan menyemprot pestisida pada sawah mereka. Gabah-gabah yang mulai gemuk berisi menjadi pemandangan yang sangat menyejukkan hati mereka. Ketika asyik bekerja sambil bermain-main, seekor ular berbisa menggigit kaki Jaka. Spontan, ayah Jaka pun membawanya pulang ke rumah.
Jaka dirawat oleh seorang mantri terkenal di desa yang akan dibayar setelah panen nanti. Ayah Jaka merasa sangat geram terhadap ular-ular di sawahnya yang telah menyakiti anak semata wayangnya itu. Ia mengajak warga beramai-ramai memburu ular di sawah. Hingga pada akhirnya, ular-ular di sawah dapat diberantas. Warga desa, terutama ayah Jaka pun merasa lega.
Seminggu istirahat, kaki dan tubuh Jaka berangsur-angsur membaik. Ia kini dapat kembali bersekolah dan bermain dengan teman-temannya kembali. Jaka juga ingin kembali membantu ayahnya bekerja di sawah. Ia merindukan pemandangan sawah yang baginya seperti ladang emas. Namun, ayahnya tidak mengizinkannya. Ayah Jaka takut apabila masih ada ular yang dapat mengancam keselamatan Jaka.
”Ayah, aku ingin membantu Ayah mengairi sawah,” rengek Jaka kepada ayahnya.
”Jangan, Jaka! Kamu masih belum sembuh benar. Ayah juga khawatir masih ada ular di sawah ini!” kata Ayah Jaka dengan agak cemas.
”Tapi aku ingin membantu Ayah,” Jaka kembali merengek.
”Baiklah, Ayah beri kamu tugas berat. Kamu harus menjaga jagung rebus kita di saung. Jangan sampai Si Kancil mencurinya!” kata ayah Jaka lembut.
Canda Ayah membuat Jaka tertawa. Kemudian mereka beranjak ke saung di tengah sawah dengan senyum lebar. Sambil membaca buku pelajaran yang dibawanya, Jaka duduk di saung berhadapan dengan sepiring jagung rebus yang masih hangat. Sesekali matanya melirik ke arah ayahnya yang bermandi peluh. Ia kasihan kepada ayahnya yang bekerja sendirian.
Empat hari lagi waktu panen tiba! Sebentar lagi mereka pun dapat melunasi hutang-hutang mereka. Selain itu, Jaka juga dapat membeli buku-buku pelajaran untuk menghadapi semester baru. Genting yang bocor akan diperbaiki, dan angan-angan untuk membeli sepeda akan terwujud. Waktu panen adalah saat yang paling membahagiakan bagi mereka.
Menyambut waktu panen, Jaka semakin riang dan Ayah bekerja lebih semangat. Mereka pergi ke sawah dengan ceria. Selama dua hari mereka tidak ke sawah karena hujan. Hari ini mereka pasti akan tersenyum melihat gabah yang gemuk-gemuk di sawah. Jaka membawa satu sak pupuk dan Ayah menjinjing semprotan pestisida. Setiap langkah mereka jalani dengan lagu riang gembira.
Sawah mulai terlihat membentang di hadapan mereka. Langkah mereka pun dipercepat. Tidak sabar mereka untuk bermain-main di tengah sawah yang coklat keemasan.
Semakin dekat mata mereka memandang ke sawah, semakin cepat langkah mereka. Namun, senyum di wajah mereka berganti menjadi ekspresi kekecewaan. Air mata menetes di atas tumpukan padi yang telah rusak.
Gabah-gabah kosong menganga di pucuk tanaman padi yang mereka rawat sejak lama. Barisan padi-padi tidak teratur lagi. Patah, hancur, sehancur hati mereka. Keceriaan pun sirna dari raut muka mereka. Hanya terlihat orang-orangan sawah yang berdiri dengan wajah galak, bodoh! Tidak ada burung-burung yang menghinggapi sawah. Biji-bijian yang selalu menarik perhatian mereka untuk singgah itu kini telah lenyap.
Beceknya lahan yang mengotori pakaian tidak mereka hiraukan. Mereka berjalan terseok-seok menuju saung. Saung yang biasanya ramai dipenuhi canda dan tawa seakan turut berduka. Tubuh ayah dan anak itu terhuyung-huyung diterpa angin, seperti batang-batang padi rusak yang mereka saksikan. Jaka celingukan memandangi sekeliling saung. Hanya padi-padi yang mulai menghitam dan mengering yang dapat ia pandang.
Harapan-harapan mereka kini terkubur dalam.
”Ayah, kenapa sawah kita rusak? Apa karena ular-ular dibunuh?” tanya Jaka pelan. Ayah Jaka hanya terdiam. Mulutnya tak sanggup berucap lagi. Penyesalan yang begitu besar tak terbendung. Lama-kelamaan air mata semakin deras menitik di pipinya. Pria paruh baya itu hanya berkata ”Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah”. Sambil mendekap Jaka, Ayah mengucapkan kalimat itu terus menerus.
Petang mulai menjelang. Kelelawar mulai beterbangan di atas sawah. Warnanya yang hitam senada dengan kondisi sawah dan hati mereka yang duduk terpaku di kolong jerami atap saung. Mentari terbenam di celah antara dua gunung yang terbentang di ujung lahan persawahan. Langit mulai gelap seiring dengan pilu yang mereda. Kantuk dan lapar pun mulai mendera.
”Ayah, ayo kita pulang!” ajak Jaka kepada ayahnya.
”Iya, Nak. Kamu pulang duluan, ya. Ayah akan menyusul. Makanlah di warung Bu Ijah! Katakan kepada Bu Ijah, nanti akan ayah bayar!” Jaka pun pulang, sementara ayahnya masih duduk bersandar di saung. Tatapannya kosong, lesu, rambutnya berantakan. Namun rupanya tertutup oleh gelapnya malam.
Sudah larut malam, ayah belum pulang. Jaka mengkhawatirkan ayahnya. ”Sudah malam, tapi kenapa Ayah belum pulang?” gumamnya dalam hati. Jaka tidak bisa tidur. Ia menunggu ayahnya pulang sampai pukul 2 malam. Ia sempat berpikir untuk mencari ayahnya ke sawah, namun di luar sangat gelap. Ia takut tersesat di jalan. Perjalanan dari rumah ke sawah menghabiskan kira-kira 1 jam dengan melewati jalan desa, perkebunan, dan sungai yang arusnya deras. Penerangan di desa sangat minim. Jaka terus mempertimbangkan rencananya pergi ke sawah. Hingga akhirnya mata Jaka tak kuasa menahan kantuk. Perlahan mata Jaka menutup dalam posisi duduk di kursi.
Pagi harinya, kokok ayam membangunkan Jaka. Seketika setelah matanya terbuka, yang terbesit dalam benak Jaka hanyalah ayahnya. Dicari ayahnya di setiap sudut rumah, hingga sepanjang jalan menuju sawah.
Di ujung jalan desa, terhampar sawah dengan padi yang layu. Di pusatnya terdapat saung kecil yang didalamnya seseorang tidur dengan tubuh melingkar. Jaka panik mendapati ayahnya yang pucat tergeletak lemas di pembaringannya tanpa alas dan selimut. Belum lagi ayahnya itu kemarin tidak makan selama sehari penuh. Jaka pun berlari sambil menangis ke dalam desa mencari pertolongan.
Dengan digotong warga setempat, ayah Jaka dibawa ke rumah. Pak Mantri datang memeriksa kondisi ayah Jaka. Jaka berlari ke dapur mengambil baskom berisi air dan kain untuk mengompres ayahnya. Tak lupa air dan bubur ayam dibelinya untuk ayahnya yang lemah tak berdaya di ranjang. Ranjang yang digelar di lantai itu dirapihkan supaya ayahnya nyaman. Diselimuti ayahnya dengan kain sarung dan disuapi dengan penuh kasih sayang. Meski telah siuman, ayah Jaka belum beucap sepatah kata pun. Jaka hanya menebar senyum menutupi hatinya yang menangis. Setiap tetes air mata disekanya segera. Jaka tahu, ayahnya ingin anaknya selalu tersenyum.
Pak Mantri kebingungan menyelidiki penyakit ayah. Satu-satunya tabib yang selalu diandalkan di desa ini hanya menggeleng kepala saat Jaka bertanya mengenai keadaan ayah. Akhirnya, Pak Mantri menyerah. Dengan gugup, ia menyimpulkan bahwa ayah Jaka baik-baik saja.
”Ayahmu ti..ti..tidak apa-apa. Ia hanya butuh istirahat.”
Kebohongan terbaca jelas oleh Jaka dari mata Sang Tabib. Keringat Pak Mantri mengucur ketika matanya diperhatikan oleh Jaka. Pak Mantri buru-buru keluar menyudahi situasi tak enak ini. Warga yang berkumpul di rumah Jaka pun keluar setelah mendoakan ayah Jaka.
Tersisa satu orang yang masih bersila di ujung kasur. Dia adalah Ratno, teman sekolah Jaka.
”Kamu percaya apa yang dikatakan Pak Mantri, No?” tanya Jaka mengawali perbincangan.
”Tidak, aku tidak pernah percaya pada Pak Mantri,” jawab Ratno singkat. ”Aku lebih percaya dokter.” sambung Ratno.
”Tapi mana ada dokter di sini?” tanya Jaka sambil menyuapi ayahnya.
”Aku pernah dibawa ibuku ke dokter di kota. Kurasa aku bisa membawamu ke sana. Tidak terlalu jauh dari perbatasan.”
”Benarkah? Apa nanti siang kamu bisa mengantarku?” pinta Jaka penuh harap. Semangat Jaka mulai timbul. Ia bertekad untuk menyembuhkan ayahnya.
”Mmmmm...” Ratno bergumam sambil berpikir.
”Iya, iya. Setelah itu aku buatkan jagung rebus,” Jaka menawarkan makanan kesukaan Ratno setelah mengantarnya ke dokter.
”Padahal aku tidak meminta imbalan lho, tapi kalau kamu memaksaku, tentu aku mau.”.
”Hahaha... Kamu ini!” Jaka dan Ratno tertawa pelan.
Tiba-tiba, keceriaan itu terinterupsi saat seseorang menggedor pintu dengan keras. Serentak Jaka dan Ratno bangkit menuju pintu. Berdiri tegap sesosok lelaki kekar, berperawakan batak memasang tampang garang.
”Hoooi!” tak tahu sopan santun, dia berteriak di rumah orang seenaknya. ”Ada apa ya, Bang?” tanya Jaka.
”Mana utang Bapak kau? Bayar sekarang!” Pria itu berkata dengan kasar sambil menjulurkan tangan minta uang.
”Maaf, Bang. Ayah saya sedang sakit dan kami belum punya uang. Sawah kami gagal panen.”
”Masa bodo! Saya cuma mau uang yang dipinjam Bapak kau, lima puluh ribu!” Jaka bingung bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Kemudian Ratno memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada pria galak itu.
”Lho, No. Kenapa kamu beri uangmu ke Abang ini?” tanya Jaka merasa tidak enak.
”Sudahlah, anggap saja ini bayaran karena kamu sering beri aku jagung rebus.” jawab Ratno sambil memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku.
“Terimakasih ya, No. Aku akan berusaha kembalikan uangmu itu.” Pria yang menagih utang itu pun pergi tanpa permisi dan salam. Memang, biasanya orang yang berhutang kurang dihormati. Orang yang terbelit utang seperti ayah Jaka sering dimaki-maki orang dan dilecehkan, namun Ayah Jaka tetap sabar.
”Sementara kita ke dokter, biar Si Mbok yang merawat ayahmu ya, Jak!” Satu lagi kebaikan Ratno yang membuat Jaka merasa semakin berutang budi. Jaka memang kebingungan mencari orang yang bersedia merawat ayahnya ketika ia pergi ke kota. Untungnya Ratno memiliki pembantu yang baik kepada keluarga Jaka. Mbok Inem sering memberi makanan kepada Jaka dan ayahnya saat mereka kelaparan.
”Ayah, aku dan Ratno akan ke kota mencarikan dokter untuk mengobati ayah. Ayah akan dirawat Mbok Inem sampai aku pulang,” Dengan lembut Jaka memberi pesan kepada ayahnya. Ia mecium dahi ayahnya. Tanpa sadah air mata Jaka menetes di dahi ayahnya. Setelah salim kepada ayahnya, Jaka pun berjalan keluar.
”Hati-hati, Nak!” suara ayah Jaka yang tersengal-sengal sangat memilukan hati Jaka. Ia tak kuasa membendung air matanya. Segera ia berbalik dan keluar. Air matanya pun tumpah saat melangkahkan kakinya keluar rumah.
Jaka dan Ratno pergi dengan sepeda. Bergantian mereka mengayuh sepeda itu. Apabila lelah mulai mendera, mereka beristirahat dan makan jagung rebus yang dibawa Jaka. Dalam perjalanan, mereka mengobrol sambil bersenda gurau. Terik mentari yang menyengat tak menyurutkan semangat mereka. Meski peluh membanjiri tubuh, kaki mereka tetap kuat mengayuh sepeda cepat.
Empat jam mengayuh, mereka sampai di kota tujuan. Mereka berhenti sejenak memarkir sepeda. Jaka pergi ke warung hendak membeli minum untuk bekal di jalan, sedangkan Ratno menunggu di sepeda. Ratno melihat seorang fakir miskin bersimpuh lesu di pinggir jalan. Ia menghampirinya dan menaruh uang dua ribu rupiah di tangan pengemis yang menengadah sejak tadi. Tiba-tiba wajah yang memelas berganti menjadi tampang bengis. Tangan Ratno ditarik pengemis itu dengan kuat hingga jatuh di dekapan pengemis kotor itu. Diseretnya Ratno ke gang sempit dan dipukuli.
”Serahkan semua uangmu! Kalau tidak, akan kurebut secara paksa!” ancam Si Pengemis sambil mengepalkan tangannya. Jaka yang melihat kejadian itu langsung berlari mengitari blok meninggalkan Ratno yang ditendangi berkali-kali, dicekik, hingga tak berdaya.
Jaka mengendap-endap di belakang pengemis yang sedang mencekik Ratno di depan tembok. Dengan keras Jaka memukul kepala pengemis kejam itu dengan batu. Ratno terbebas namun masih kesulitan bernapas.
”No, cepat lari ke sepeda!” teriak Jaka.
Ratno berjalan sempoyongan mengambil sepeda. Jaka masih menghadapi pengemis yang tengah kesakitan. Dua pukulan dihujamkan ke kepalanya hingga jatuh. Kemudian Ratno datang dengan sepedanya.
”Ayo, Jak! Cepat naik!” Jaka berlari menuju Ratno yang mulai mengayuh sepedanya. Ia melompat ke sepeda dan mereka melaju cepat.
“Hei! Anak itu pencuri!” Teriakan pengemis membuat warga ikut mengejar Ratno dan Jaka. Bahkan banyak yang mengejar mereka dengan sepeda motor.
“Apa rencanamu, Jak?” tanya Ratno sambil tergopoh-gopoh.
“Kalau kita berhenti untuk menjelaskan yang sebenarnya, tentu kita akan babak belur sebelum sempat mengatakannya. Jadi lebih baik kita kabur!” kata Jaka sambil meminum air yang dibelinya tadi.
“Ini, minum dulu, No!” Jaka menyodorkan botol minumnya kepada Ratno. “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Jaka.
“Tenang saja, yang penting kita lolos dari amuk massa!” jawab Ratno sambil mengembalikan botol.
Ratno memacu sepedanya. Berkelok-kelok keluar masuk gang-gang sempit, kebun, dan akhirnya mereka berhasil lolos dari kejaran orang-orang yang mengamuk. Ratno kembali ke jalan raya dan mencari rumah Pak Dokter. Sekitar setengah jam berputar-putar, mereka menemukannya. Mereka masuk dan duduk setelah dipersilahkan Pak Dokter.
“Adik sakit apa?” tanya dokter kepada Jaka yang duduk di seberang meja.
“Ayah saya yang sakit, Pak” ujar Jaka.
“Ayah kamu mana?” tanya Pak Dokter penasaran.
“Di rumah. Apa bapak bisa ke rumah saya? Ayah saya sakit parah, Pak!” pinta Jaka dengan nada khawatir.
”Tidak bisa, Dik. Saya hanya praktik di sini. Kalau ayahmu mau berobat, bawalah dia kemari!”
”Tolonglah, Pak. Ayahnya tidak mampu pergi kesini!” bela Ratno.
”Maaf ya, Dik. Kalau Saya ke rumah Adik, , Adik harus bayar lebih.”
Jaka sangat kecewa, namun ia hanya menyembunyikan wajah kesalnya. Ratno terus membujuk Pak Dokter, namun selalu gagal.
”Huh! Zaman sekarang banyak terjadi kapitalisasi di dunia kedokteran. Jasanya bukan lagi untuk kemanusiaan, tetapi untuk materi semata.” celetuk Ratno.
Dokter pun naik darah. Raut kesal mulai tergambar di wajahnya. Kekesalan pun merambat ke tangannya. Jaka dan Ratno diseret ke pintu keluar. Mereka pun keluar diiringi kata-kata kasar dari Sang Dokter.
”Dasar orang miskin! Kalau berobat cari saja dukun di kampung kalian!”
Benar-benar kalimat yang menusuk telinga. Tetapi kata-kata setajam itu tak lantas mengoyak kesabaran mereka. Mereka masih dapat mencari dokter lain atau mengunjungi apotik.
Dua sekawan itu keluar dari pintu dengan penuh penyesalan. Sesampainya di luar, mereka dikejutkan dengan berpuluh pasang mata memandang mereka tajam. Mereka dikepung kerumunan massa yang tadi mengejar mereka. Di barisan terdepan ada beberapa polisi. Untunglah, mereka terhindar dari hajaran massa yang marah itu. Polisi membawa mereka ke kantor polisi setempat. Sepeda Ratno diangkut dengan truk yang mereka tumpangi.
Di kantor polisi, mereka dimintai keterangan. Lama benar mereka duduk dan ditanyai ini-itu. Akhirnya keduanya dilepaskan karena tidak terbukti bersalah. Mereka lega karena dapat melanjutkan misi mereka. Hari mulai gelap, perut mereka mulai keroncongan. Sejak pagi hanya sepotong jagung rebus yang masuk ke perut mereka. Mereka pun mencari rumah makan di daerah itu. Beruntung, mereka menemukan rumah makan dan apotek yang bersebelahan. Pertama, mereka pergi ke apotek mencari obat untuk ayahnya.
Di kantor polisi, mereka dimintai keterangan. Lama benar mereka duduk dan ditanyai ini-itu. Akhirnya keduanya dilepaskan karena tidak terbukti bersalah. Mereka lega karena dapat melanjutkan misi mereka. Hari mulai gelap, perut mereka mulai keroncongan. Sejak pagi hanya sepotong jagung rebus yang masuk ke perut mereka. Mereka pun mencari rumah makan di daerah itu. Beruntung, mereka menemukan rumah makan dan apotek yang bersebelahan. Pertama, mereka pergi ke apotek mencari obat untuk ayahnya.
”Ada yang bisa saya bantu?” tanya apoteker menyambut kedatangan Jaka dan Ratno.
Apoteker ini berbeda dengan dokter yang mereka temui sebelumnya. Dia ramah dan sopan. Jaka pun menjawab, ”Saya mencari obat untuk ayah saya yang sedang sakit.”
”Ayah adik sakit apa?” tanyanya kembali.
”Saya tidak tahu, Mas. Tapi kelihatannya parah!” ujar Jaka tegas.
”Bisa Adik jelaskan gejala yang timbul pada ayah Adik?” tanya apoteker penasaran. Jaka berpikir sebentar untuk mengingat gejala penyakit yang timbul pada ayahnya kemudian menjawab dengan lantang, ”Badannya panas, selain itu timbul bintik-bintik merah di tubuhnya.”
”Wah, itu gejala demam berdarah, Dik. Sebentar, saya ambilkan obatnya,” Apoteker itu memasukkan beberapa bungkus tablet dan kapsul obat ke dalam kantung plastik. Kemudian kantung itu diserahkan kepada Jaka.
”Ini, Dik. Semoga ayahmu cepat sembuh!” kata apoteker saat memberikan obat kepada Jaka.
”Terimakasih, Mas. Berapa biayanya?” tanya Jaka.
”Lima belas ribu, Dik.” Jaka memberikan lima belas lembar uang pecahan seribu rupiah yang ditabungnya dari uang saku yang setiap hari ayahnya berikan. Setelah mendapatkan yang mereka cari, mereka pun keluar apotek dengan riang.
”Ayah, aku sudah mendapatkan obat untuk Ayah. Semoga Ayah sembuh dan kita dapat bekerja lagi” gumam Jaka sambil tersenyum. Jaka begitu senang. Ia tidak sabar melihat kesembuhan ayahnya.
Jaka dan Ratno memasuki sebuah rumah makan yang di dalamnya ramai sekali. Mereka duduk berdampingan di sebuah kursi panjang dari kayu.
”Minta dua porsi nasi dengan lauk telur dadar dan tempe goreng ya, Bu.” Jaka dan Ratno sepakat untuk memilih menu tersebut karena sesuai dengan sisa uang mereka sekarang. Mereka pun makan dengan lahap.
Hari sudah malam. Mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan karena perjalanan menuju desa tidak memungkinkan tanpa penerangan di jalan desa. Akhirnya mereka pun meminta izin untuk beristirahat di kursi panjang yang ada di depan rumah makan. Hingga warung tutup, mereka baru boleh tidur di situ.
Berbeda dengan di desa, yang membangunkan mereka di pagi hari bukanlah kokok ayam dan cicit burung, melainkan kebisingan kendaraan bermotor. Mereka pun lekas-lekas pergi meninggalkan kota menuju kampung halaman mereka. Kali ini Jaka yang mengayuh sepeda. Ia mengayuh dengan semangat. Waktu tempuh pun begitu cepat. Tidak sampai tiga jam, mereka berhasil melampaui berbagai medan seperti sawah, kebun, bukit, dan sungai hingga sampai ke desa mereka. Rumah Jaka mulai terlihat. Meski kecil dan kusam, Jaka melihatnya sebagai surga dimana seorang malaikat beristirahat di dalamnya. Jaka berlari menuju rumah sambil mengucap salam. Ia akan melepas rindu setelah satu hari tidak bertemu ayahnya. Ratno mengikutinya dengan berjalan. Senyumnya merekah melihat Jaka yang sangat bahagia. Dengan kasih sayang yang selalu ditebarkannya, Ratno merasa dunia di sekitar Jaka terasa begitu indah, sehingga ia merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Ratno menapaki teras rumah Jaka dengan perlahan. Daun pintu yang ia pegang menjadi puncak kebahagiaan melihat temannya sebelum terjadi antiklimaks yang begitu terjal. Bukanlah kasih sayang ayah dan anak yang ia lihat, melainkan dua kepala yang tertunduk lesu dan suara isak tangis mereka. Ratno mendekati Jaka dan Mbok Inem yang duduk berhadap-hadapan. Ia melihat kasur ayah Jaka yang telah kosong. Tanpa perlu penjelasan, ia bersimpuh di samping Jaka melakukan hal yang sama dengannya. Obat dari apotek diremas kuat oleh Jaka. Melihat tetes-tetes air mata yang jatuh dengan deras membuat Ratno tak kuasa menahan haru. Jaka pun semakin meluapkan kesedihannya. Tiga orang yang duduk di ruangan itu menangis sejadi-jadinya.
Seminggu kemudian, Jaka mulai ikhlas menerima kepergian ayahnya. Mbok Inem pun mengajaknya berziarah ke makam ayahnya Ratno dan kedua orangtuanya pun ikut bersama mereka. Keharuan kembali pecah di atas batu nisan ayah Jaka. Ditengah tangis mereka, Mbok Inem memberikan sepucuk surat kepada Jaka dari Ayahnya. Tak lupa satu pesan terakhir dari ayahnya, yaitu: ”Jangan pernah berubah, nak, meski Ayah telah pergi!”
Sepuluh hari menumpang di rumah Ratno, Jaka hendak kembali ke rumahnya. Ia tak mau lagi merepotkan keluarga Ratno. Karena utang-utang ayahnya telah dilunasi keluarga Ratno, ia merasa terbantu dan akan berusaha bekerja kembali di sawah. Namun Jaka tidak diizinkan pergi. Orangtua Ratno yang telah mengenal baik tabiat Jaka bersedia menuruti permintaan Ratno, yaitu menjadikan Jaka saudaranya. Jaka dan Ratno pun menjadi dua bersaudara yang hidup bahagia.
0 comments