Sekolah Dambaan dalam Lamunan
Juni 21, 2013Sekolah Dambaan dalam Lamunan
Sekolah,
dimana aku tengah duduk di dalamnya, di atas bangku kayu panjang menyamping
dengan temanku di sisi lain. Celingukan aku saat sebaris tanya tiba-tiba
melintas di pikiranku, tentang bagaimana sekolah dambaanku. Mungkin pertanyaan
ini terdengar mudah dan sepele, tetapi entah kenapa aku kesulitan mencari
jawabannya. Sambil melongok kanan kiri mencari inspirasi sesekali aku mengeluh
dalam hati atas kekalahanku untuk pertanyaan remeh seperti ini.
Pandanganku
beralih ke luar jendela, di seberang jalan kulihat sekolah tetangga. Sekolah
itu tidak berbeda jauh dengan sekolahku. Bangunan bercat kusam dan berantakan
oleh dedaunan dari pohon beringin besar di sampingnya. Lapangannya cukup luas,
sekitar dua petak lebih luas dari lapangan sekolahku. Disana juga dihinggapi
pedagang-pedagang jajanan yang menanti waktu istirahat. Sampah makanan terlihat
berserakan di pinggir lapangan, di bawah gerobak-gerobak jajanan itu. Hahaha…
Aku tertawa jahat atas kotornya tempat itu. Setidaknya aku bersyukur sekolahku
masih lebih baik.
Meskipun sangat
sederhana, fasilitas minim, dan seringkali kerepotan apabila tetesan air
menyempil di celah atap kala hujan. Tak masalah, yang penting sekolahku masih
berbentuk sekolah. Ada ruang kelas, bangku, meja, papan tulis, dan buku-buku.
Itu saja cukup! Walaupun terkadang, kami cuma bisa gigit jari saat membaca buku
TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Ya, hanya itulah yang bisa kami
lakukan saat pelajaran TIK. Sedangkan pelajaran IPA kami masih memiliki
alat-alat peraga hasil kreativitas siswa sendiri. Tanpa laboratorium pun
praktikum tetap dapat dilakukan di dalam kelas, atau di lapangan dengan
peralatan seadanya.
Oh Ya! Segi fasilitas
sepertinya wajib dipertimbangkan untuk sekolah dambaanku. Sekolah dambaanku
harus punya berbagai laboratorium lengkap dengan peralatan-peralatan pendukung
pembelajaran. Terutama lab komputer plus internet super cepat. Jadi kami bisa
melihat indahnya dunia luar yang katanya semakin modern dan praktis. Fasilitas
lainnya yang tidak kalah penting, yaitu media pembelajaran yang lebih variatif,
tidak hanya buku. Bisa berupa video, multimedia, atau sistem e-learning yang
katanya sangat menarik dan interaktif. Boleh juga kalau setiap siswa disediakan
Tablet PC. Ini kan abad 21, era serba digital. Kertas sudah tak jaman, tak
ramah lingkungan, bisa bahayakan hutan.
Sekolah dambaanku
juga harus memiliki lingkungan yang nyaman dan kondusif untuk belajar.
Menurutku lingkungan itu penting. Bagaimana bisa belajar kalau suasana
lingkungan tidak mendukung? Makanya, lingkungan memegang andil dalam kelancaran
proses pembelajaran. Pertama, lingkungan sekolah dambaanku harus bersih dan
sehat. Kedua, suasananya harus tenang. Ketiga, lingkungannya hijau, dan asri.
Dengan begitu, belajar bisa lebih fokus dan menyenangkan. Kalau bisa, dibangun
taman dengan pepohonan serta bunga-bunga nan cantik. Pasti aku akan lebih betah
di sekolah.
Tinggalkan dunia khayalan sejenak, perhatian
kualihkan kembali pada Pak Guru yang sedang mengajar matematika. Namun tidak
ada ketertarikan kudapati dari materi yang beliau sampaikan. Kata-katanya
begitu cepat, belepotan tak karuan. Sulit aku pahami hitung-hitungan yang ia
jelaskan. Beberapa temanku bahkan sampai tertidur pulas di atas meja dengan
berbantal buku matematika yang tebal. Ingin rasanya kusampaikan keluh padanya,
agar bicara lebih lambat dan mudah dipahami. Tetapi apa daya, guruku itu
sedemikian tidak peduli pada kapasitas otak siswanya. Kami para murid yang terjepit
oleh kebodohan seperti ditarik paksa. Bukannya terlepas, justru semakin sakit.
Alhasil, menyontek pun menjadi senjata
rahasia untuk menaklukkan ujian. Sebenarnya tak enak juga rasanya di hati, tapi
apa boleh buat? Materi yang disampaikan Pak Guru tidak ada yang ‘nyantol’ sama
sekali!
Kalau
boleh curhat, sejak dulu aku belum menemukan sosok guru dambaanku. Guru yang
benar-benar dekat seperti sahabat. Selama ini guru yang aku ketahui adalah
seseorang yang menjelaskan sesuatu, lalu menyuruhku menghafal, menghitung, dan
mengerjakan tugas. Tidakkah ada di dunia ini guru seperti yang aku dambakan?
Guru yang bukan memerintah, tapi mengajak. Guru yang bukan mengajar, tapi
membimbing. Guru yang bukan hanya ingin diperhatikan sendiri, tetapi juga mau
memperhatikan siswanya. Guru yang down to earth, mau bergaul dan merangkul kami
siswa-siswi bodoh untuk kemudian dituntun dengan sabar mengumpulkan
keping-keping pengetahuan di jalan pendidikan menuju masa depan gemilang.
Kriiiing!!! Lagi-lagi lamunanku terganggu.
Bel menjerit tanda beralihnya jam pelajaran. Aku pun mengabil buku sejarah di
tas. Buku itu sangat berat. Aku jadi teringat tadi pagi, tasku putus talinya
sehingga harus kujinjing. Tampaknya tak sanggup ia memikul beban sedemikian
berat. Begitupun aku. Sekolahku menerapkan belasan mata pelajaran, yang artinya
ada berbagai buku-buku paket yang harus dibawa. Tidak hanya beban buku, kesemua
mata pelajaran juga membebani otakku yang dicekoki banyak ilmu. Suka tidak suka
semua harus kutelan. Entah apakah akan terpakai nantinya, harus ditelan meski
sulit dan pahit.
Cita-citaku adalah menjadi dokter. Maka,
seyogyanya aku menekuni pelajaran biologi, matematika, kimia. Pertanyaannya, buat
apa aku mempelajari sejarah, seni tari, tata boga, ekonomi, geografi, dan
sebagainya? Apakah aku harus jadi orang serba bisa? Jadi ahli segalanya? Tentu aku
tak kan mampu. Bahkan Einstein sekalipun, hanya menguasai sains. Bidang lain
yang tidak diminatinya diabaikan saja.
Kalau melihat negara Amerika, katanya cuma
ada tujuh pelajaran, Finlandia enam pelajaran, dan negara-negara maju lain yang
mata pelajarannya tidak banyak-banyak, tetapi difokuskan pada mata pelajaran
pokok serta disesuaikan menurut bakat dan minat siswa sehingga mampu melahirkan
ahli-ahli dan spesialis-spesialis yang handal di bidangnya. Bukan cuma jadi kutu
buku serba tahu yang cuma hafal bermacam teori.
Aku mendambakan sekolah yang memfokuskan
pendidikannya pada bidang tertentu saja. Adapun materi-materi yang kurang penting
dan tidak diminati sebagian besar siswa sebaiknya dihapuskan dari kurikulum.
Misalnya seni musik/tari, tata boga/busana, dan agama bisa dialihkan ke
ekstrakurikuler. Dengan demikian pelajaran-pelajaran pokok dapat dimaksimalkan.
Penjurusan pun sebaiknya dimulai sejak kelas 1 SMA agar siswa bisa belajar
sesuai passion mereka dan dengan senang hati tanpa paksaan.
Balik lagi ke pelajaran sejarah, Bu Guru
memberikan tugas dari buku LKS (Lembar Kerja Siswa). Jujur saja aku paling
benci tugas seperti ini. Sebenarnya aku senang mengerjakan karena memberiku
kesempatan bereksplorasi secara mandiri. Tetapi kalau tugas diberikan berupa
soal-soal, jujur aku kurang suka. Tugas semacam ini dikerjakan dengan menyalin
kalimat-kalimat dari buku paket untuk dipindahkan ke titik-titik isian pada
soal. Sungguh membosankan! Pastinya aku tidak mau hal ini terjadi pada sekolah
dambaanku.
Sekolah
dambaanku harus memberikan tugas yang menyenangkan berupa aktivitas-aktivitas
menarik. Untuk pelajaran sejarah misalnya, bisa berupa kunjungan ke museum atau
situs-situs sejarah terdekat, observasi, atau wawancara. Selain asyik, bisa
memperluas wawasan dan pengalaman. Tugas juga jangan hanya dilaporkan secara
tertulis, tapi juga secara lisan. Bisa dengan bercerita atau presentasi di depan
kelas. Sekalian melatih kemampuan berbicara, dan mencegah praktik menjiplak.
Bicara soal menjiplak, dalam dunia sekolah
hal ini sudah biasa. Bibit-bibit korupsi ini tumbuh subur di kegiatan sekolah,
terutama saat ujian. Menjiplak atau mencontek atau sejenisnya lumrah dilakukan
saat ujian. Demi kelulusan, apapun rela dilakukan meski lewat jalur haram.
Mungkin inilah penyebab kotornya pemerintahan Indonesia saat ini, karena para
pemimpin kita terbiasa berbuat curang di sekolah. Amit-amit!!! Mudah-mudahan
temanku sekalian calon-calon pemimpin masa depan tidak demikian.
Agar pendidikan
Indonesia tidak menumbuhkan jiwa-jiwa korupsi, pendidikan karakter juga perlu
diaplikasikan di setiap kegiatan pembelajaran. Salah satunya kegiatan ujian.
Sebisa mungkin pengawasan diperketat agar ide untuk mencontek tidak terlintas
sedikitpun di benak siswa. Hukuman juga perlu diberikan secara tegas bagi
pelaku kecurangan.
Ujian kelulusan untuk
sekolah dambaanku tidak hanya berupa ujian tertulis, tetapi juga ujian lisan dan
praktik. Ujian tertulis berupa uraian, bukan pilihan ganda yang rentan
kebocoran. Kelulusan juga tidak diputuskan dari hasi ujian nasional, melainkan
ujian sekolah dan nilai hasil pembelajaran dari rapor. Karena sekolahlah yang
lebih mengenal kemampuan siswa, sekolah juga yang menentukan kelulusan.
Sepertinya lamunan tentang sekolah
dambaanku hanya cukup sampai disini. Aku harus mengerjakan tugas! Mungkin
sedikit kusampaikan harapanku untuk pendidikan Indonesia sebagai kata-kata
terakhir.
“Aku mengharapkan Indonesia membuka mata dan melihat sistem pendidikan
negara lain. Kalau bangsa lain mampu menghasilkan bibit-bibit unggul untuk
kemajuan negara dengan sistem pendidikannya, mengapa tidak kita contoh? Mengapa
kita masih bertahan dengan sistem amburadul yang tidak membuktikan kualitasnya
dalam mencetak generasi emas? Jadikan kesuksesan pendidikan negara lain sebagai
bahan kajian untuk mengevaluasi sistem pendidikan kita. Semoga Indonesia mampu
menghasilkan putra-putri unggul yang lahir dari pendidikan yang terus
dikembangkan sebagai tenaga untuk memajukan negeri. Karena SDM berkualitas
lahir dari pendidikan berkualitas.”
1 comments
Visit here http://auliasuciwardina.blogspot.com/2013/05/sekolah-dambaan-itu-seperti-apa.html
BalasHapus