Korupsi di Mata Koruptor Cilik
April 19, 2012
Kebal Hukum di Sekolah
Saya menyadari bahwa saya hanya seorang pelajar yang perkataannya tidak akan digubris siapapun dan tidak ada yang sudi mendengar pendapatnya. Soal korupsi, saya juga tidak akan berkata banyak karena Anda pasti telah mengenal kondisi pemerintahan negeri ini, bahkan mungkin jauh lebih mengetahui tentang seluk beluk tipikor dibanding saya. Meski hanya secuil pengetahuan saya tentang korupsi, ingin rasanya menyampaikan aspirasi kepada masyarakat, tentang bagaimana pelajar bodoh seperti saya melihat fenomena korupsi ini.
Saya menyadari bahwa saya hanya seorang pelajar yang perkataannya tidak akan digubris siapapun dan tidak ada yang sudi mendengar pendapatnya. Soal korupsi, saya juga tidak akan berkata banyak karena Anda pasti telah mengenal kondisi pemerintahan negeri ini, bahkan mungkin jauh lebih mengetahui tentang seluk beluk tipikor dibanding saya. Meski hanya secuil pengetahuan saya tentang korupsi, ingin rasanya menyampaikan aspirasi kepada masyarakat, tentang bagaimana pelajar bodoh seperti saya melihat fenomena korupsi ini.
Selayaknya seorang anak yang baru bisa melihat dunia, saya melihat tingkah polah para pejabat negeri sebagai hal yang wajar. Sama seperti saya, mereka suka mencuri, saling suap, dan memperjualbelikan hukum.
Di sekolah, saya sering mencontek saat ujian. Hasilnya, saya mendapat nilai bagus dan saya pun bangga akan hal itu. Hukuman yang hanya berupa teguran membuat saya berani melakukannya, dan kelengahan guru memudahkan saya dalam melakukan kecurangan itu.
Contoh lain, saya juga sering datang terlambat ke sekolah. Namun keterlambatan itu tidak membuat saya panik dan takut akan dihukum. Saya hanya tinggal memasuki gerbang dengan santai, dan menemui guru piket yang bertanggung jawab menangani murid yang terlambat. Hanya dengan berjanji tidak akan terlambat lagi, dan sedikit rayuan, misalnya "Pak Guru baik deh," atau "Bu guru cantik deh," saya dapat terbebas dari hukuman.
Papan slogan di koridor bertuliskan "Aku malu datang terlambat" saya tarik hingga jatuh, kemudian saya injak-injak. Peraturan mengenai keterlambatan pun saya ludahi. Bagi saya, hukum hanyalah sekedar formalitas, sebagai identitas bahwa negara ini adalah negara hukum. Namun pada praktiknya, tidak ada hukum yang mampu mengalahkan harta dan tahta. Dua hal inilah hukum yang sebenarnya.
Satu contoh lagi, saya sering diperintahkan guru untuk memfotokopi soal atau materi. Untuk itu, teman-teman satu kelas saya mengumpulkan sejumlah uang untuk biaya fotokopi. Namun tanpa sepengetahuan mereka, saya meminta uang lebih dari biaya yang seharusnya. Uang lebih tersebut saya ambil sebagai upah. Meski saya menyadari bahwa hal itu termasuk tindakan korupsi, saya tidak peduli. Walaupun nantinya teman-teman dan guru akan mengetahui kelicikan yang saya lakukan, mereka tidak akan menghukum saya. Paling-paling hanya teguran kecil atau cemoohan yang saya anggap sebagai tiupan angin yang akan cepat berlalu.
Saya telah kebal terhadap hukum di negeri ini. Hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggaran tidak ada apa-apanya. Saya bisa membungkam penegak hukum dengan uang sehingga hukuman dapat diringankan.
Satu Titik Rapuh
Mungkin kisah saya ini justru membuat Anda kesal, karena saya adalah pelaku tipikor yang menulis ulasan bertajuk anti korupsi. Apabila Anda berpikiran demikian, Anda harus memandang hal ini dari sudut lain. Lihatlah kembali cerita-cerita pengalaman saya di atas! Terdapat satu hal yang menjadi titik rapuh di panggung hukum dan pemerintahan negeri ini. Titik inilah yang menjadi kelemahan sistem peradilan negara. Titik tersebut adalah kekuatan penegakan hukum. Apabila titik ini berhasil dilemahkan, maka neraca keadilan akan menjadi kacau. Titik inilah yang dimanfaatkan para pelaku korupsi dalam menjebol tembok perundang-undangan dan meruntuhkan teorema supremasi hukum. Dengan kata lain, ancaman hukum mereka abaikan karena penegakan hukum yang loyo.
Jangan Sampai Lari dari Hukum!
Jangan Sampai Lari dari Hukum!
Semua kisah saya itu terjadi di sekolah saya yang merupakan perkumpulan berandal cilik hobi tawuran, pecandu seks, perokok muda, yang dapat disebut sebagai generasi suram masa depan. Sekolah miskin yang tidak menerapkan kedisiplinan dan ketertiban terhadap peraturan. Namun sekolah ini berharap untuk maju dan dapat sejajar dengan sekolah-sekolah berstandar nasional dan internasional. Bila diumpamakan sebagai sebuah negara, Indonesia adalah sekolah saya. Sedangkan warganya menginginkan kemajuan mengikuti negara-negara adidaya dan adikuasa. Namun kedisiplinan dan penegakan hukum tidak dibenahi. Maka harapan untuk menjadi negara maju hanyalah sebatas angan-angan.
Sekarang coba renungkan sejenak. Sekolah yang maju dan berprestasi selalu mengutamakan kedisiplinan terhadap peraturan. Perbedaan yang mencolok terlihat pada sekolah-sekolah yang tertinggal dalam hal prestasi. Penegakan disiplin yang lemah akan berdampak pada buruknya perilaku siswa sehingga terbentuk generasi yang tidak tertib hukum. Dengan demikian, pendidikan moral dan kedisiplinan menjiwai pembentukan karakter bangsa.
Sama halnya sekolah, penerapan disiplin di gedung pemerintahan sangatlah penting. Indonesia yang bercita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, harus menjadikan hukum sebagai penguasa serta sistem penegakan hukum sebagai pengawal yang melindunginya. Dengan begitu, hukum tidak akan dapat diutak-atik dan kaum pemerintah tidak dapat lari dari hukum sehingga akan berpikir jutaan kali untuk melakukan korupsi.
0 comments